Apps4God

Submitted by admin on Tue, 01/31/2023 - 14:56

Saya tidak akan lupa saat pertama kalinya saya menulis cuitan yang menjadi viral. Baiklah, sejujurnya cuitan itu tidak benar-benar menjadi viral. Namun, menurut ukuran saya, cuitan itu mendapat banyak perhatian. Itu adalah cuitan bersambung yang mendiskusikan warisan kotor evangelikalisme di Amerika Serikat. Kristin Kobes Du Mez, Beth Allison Barr, dan banyak orang lain mencuitnya ulang. Otak saya meledak dengan endorfin saat tanda suka, cuitan ulang, dan komentar bermunculan. Saya tidak tahan untuk tidak memeriksa ponsel saya terus-menerus.

Saya segera menyadari bahwa utas tersebut, karena kontennya, memenangkan bagi saya sekelompok orang dari golongan Kristen progresif. Saya bukan seorang Kristen progresif, tetapi karena mendapat penerimaan dari mereka, saya merasakan tekanan untuk tidak menyinggung mereka. Saya lebih sering mempersoalkan golongan sayap kanan untuk menenangkan para pengikut baru saya.

Hal yang sama terjadi -- ke arah berlawanan -- setelah saya memenangkan sejumlah besar pengikut konservatif setelah mengunggah cuitan bersambung yang mengkritik orang Kristen pro-life yang menolak merayakan pembalikan Roe (pembatalan hak aborsi di AS - Red.). Sekali lagi, saya merasakan tekanan untuk tidak menyinggung mereka. Kali ini, saya mempersoalkan golongan sayap kiri.

Tidak seorang pun mau mengakui bahwa dirinya tergoda untuk mengorbankan integritas demi dapat berbaur dengan suatu kelompok (digital). Alih-alih mengakui bagaimana kesetiaan kita terhadap kelompok tertentu menyensor perkataan kita dan membentuk pemikiran kita, kita berpura-pura bahwa kita tiba di posisi kita mengenai topik ini dan itu secara independen.

Akan tetapi, kebenarannya lebih rumit.

Kesetiaan terhadap Kelompok Memutuskan Pemikiran Independen

Manusia menyimpan pengetahuan dalam komunitas. Pikirkan saja tentang toilet Anda. Dapatkah Anda menjelaskan bagaimana cara kerjanya secara mendetail? Kecuali Anda seorang tukang leding atau penggemar toilet, kemungkinan jawabannya adalah tidak. Pengetahuan tentang toilet tidak ada dalam otak Anda. Itu terdapat dalam otak orang-orang lain.

Media sosial adalah mesin pengelompokkan terhebat -- dan tidak seorang pun secara alamiah dirancang untuk bisa menolaknya.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Ini bukanlah hal buruk. Allah tidak merancang manusia agar menjadi mahatahu. Kemahatahuan adalah bagian-Nya. Sebaliknya, Dia merancang kita dengan kemampuan untuk menyimpan informasi dalam kuantitas besar di seluruh jaringan saraf umat manusia. Itu merupakan karunia yang spektakuler. Tindakan berpikir memerlukan energi metabolis yang besar. Membagikan beban pengetahuan itu adalah teknik bertahan hidup yang kita warisi dari leluhur kita. Inilah alasan mengapa semua orang mengizinkan anggota komunitas kita melakukan sebagian besar pemikiran bagi kita, khususnya pada era digital ketika kita menempatkan diri sendiri menjadi bagian dalam kelompok partisan tertentu. Hal tersebut adalah cara kita dalam mengatasi kelimpahan persaingan pendapat dan ide yang luar biasa yang ditimbulkan oleh internet.

Namun, layaknya sebagian besar karunia di dalam dunia yang rusak, karunia ini dapat secara luar biasa menjadi salah. Mengapa? Sebab, kelompok saya, yang secara kolektif menyimpan banyak pengetahuan yang benar, memiliki kecenderungan yang sama besarnya untuk menyimpan pengetahuan yang salah. Karena saya dirancang untuk berpikir bersama kelompok saya, maka saya akan kesulitan membedakan fakta dari fiksi.

Semakin suka mencela dan kakunya suatu kelompok, semakin mereka tidak terbuka terhadap diskonfirmasi internal atau eksternal. Bahkan, diskonfirmasi dapat terasa seperti ancaman eksistensial terhadap cara hidup kelompok tersebut. Ini menjelaskan mengapa, dalam masyarakat kuno, keluar dari perspektif kelompok Anda merupakan hal yang berbahaya. Anda bisa saja diusir, yang menyebabkan Anda terputus dari pengetahuan komunal yang diperlukan untuk kelangsungan hidup mendasar.

Pada era media sosial, kecerdasan buatan menghubungkan miliaran otak manusia yang cenderung mengutamakan kelompok ke dalam pemikiran umum global tempat kelompok ideologis yang saling berkompetisi dalam pertempuran besar di mana pemenang mendapatkan segalanya, yaitu hak untuk diperhatikan, meterai kebudayaan, dan kuasa. Hal itu tidak dapat dilakukan sendirian. Kita tidak dirancang untuk itu. Untuk mengatasi aliran informasi daring yang tiada hentinya, kita kembali ke teknik pertahanan hidup kuno: mengizinkan kelompok melakukan tindakan berpikir untuk kita dan melindungi cara hidup kelompok dengan menghancurkan musuh dan mengusir para bidah.

Jadi, saat saya menuliskan cuitan bersambung yang condong ke sayap kanan, dan mendapati suatu kelompok yang menerima saya untuk masuk ke dalam jaringan relasi dan pengetahuan umum mereka yang kaya, hampir tidak mungkin saya bisa menolaknya. Media sosial adalah mesin pengelompokkan terhebat -- dan tidak seorang pun secara alamiah dirancang untuk bisa menolaknya.

Daya Tarik Menguntungkan dari Penerimaan Kelompok

Saat saya merenungkan pengalaman saya, saya menjadi lebih berempati sekaligus lebih sinis terhadap orang Kristen yang memimpin ujung sayap berseberangan dalam percakapan evangelis daring.

Saya berempati karena saya yakin bahwa mereka adalah orang yang baik. Mereka hanya berusaha membantu. Namun, mereka terjebak dalam perang kelompok di mana pemikiran yang benar (menurut kelompok tersebut) menuntun ke arah perayaan daring memabukkan oleh kelompok mereka dan pemikiran yang salah mengakibatkan pengasingan. Integritas -- yaitu mengatakan hal yang Anda ketahui sebagai kebenaran, bahkan jika Anda harus bayar harga -- menjadi mengerikan karena itu bisa berarti kehilangan penerimaan dari suatu kelompok atau secara sengaja menjauhkan diri dari kelompok tersebut. Artinya, Anda tidak hanya kehilangan relasi dalam komunitas tersebut, tetapi juga kehilangan aliran endorfin yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas kelompok kita.

Akan tetapi, saya merasa sinis karena saya melihat sendiri betapa mudahnya menjual integritas kita demi mendapatkan tempat dalam suatu kelompok. Saya menyaksikan secara langsung ketika orang-orang Kristen yang tadinya terhormat secara bertahap mencondongkan diri "sepenuhnya" ke salah satu ujung sayap golongan -- yang sering kali dikatalisis oleh serbuan dari suatu unggahan media sosial pembakar yang melontarkan mereka masuk ke dalam rahmat baik (yang berubah-ubah) dari salah satu kelompok daring. Setelah mengecap pengaruh yang timbul dari penerimaan kelompok yang meluas -- ditambah dengan pertumbuhan pesat jumlah pengikut sosial yang dimungkinkan oleh suatu postur kelompok -- orang-orang ini tidak pernah menoleh ke belakang lagi. Penampilan di media, undangan untuk berbicara, dan penawaran buku sering kali menyusul. Permainan golongan berhasil.

Saya tidak mengetahui isi hati orang-orang ini. Saya tidak tahu apakah integritas mereka benar-benar dikompromikan. Namun, yang saya tahu adalah (1) penerimaan kelompok itu begitu memabukan sehingga mereka bisa saja tidak sadar terhadap betapa mereka telah menjadi bagian dari kelompok tertentu, (2) saya tidak dapat benar-benar memercayai perkataan seseorang yang sedang berusaha merebut perhatian kelompok tertentu, (3) mengatakan kebenaran kepada musuh kelompok Anda bukanlah hal yang bisa dibilang berani, dan (4) kekristenan yang terkooptasi dengan keberpihakan digital-politis merupakan ancaman yang jauh lebih besar terhadap masa depan gereja daripada sekuler kiri ataupun kanan.

Dan, karena saya mengetahui hal-hal ini, saya tahu bahwa saya harus melawannya.

Telinga yang Gatal

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda membiarkan tanda suka, tanda dibagikan, dan jumlah penonton secara bertahap mengarahkan perspektif Anda terkait isu-isu penting? Apakah Anda sering berpikir tentang apakah yang ingin Anda katakan (atau tidak ingin Anda katakan) dipengaruhi oleh orang-orang yang lebih tertarik untuk menggelitik telinga daripada mengatakan kebenaran?

Peringatan Paulus sangat jitu terhadap era media sosial: "Sebab, akan tiba saatnya ketika orang-orang tidak mau lagi menerima ajaran sehat. Sebaliknya, untuk memuaskan telinga, mereka akan mengumpulkan guru-guru bagi diri mereka sendiri yang sesuai dengan keinginan mereka." (2Tim. 4:3, AYT)

Risikonya konstan di media sosial. Jauh lebih mudah untuk menemukan apa yang ingin kita dengar dan membungkam segala hal lainnya. Dengan karunia Allah, cobalah untuk melihat hal itu dan melawannya. Terapkanlah kearifan saat Anda berjumpa dengan seseorang yang imannya secara aneh selaras dengan politik dan kode etik dari salah satu pihak dalam peperangan budaya politis. Carilah suara-suara yang tetap setia kepada Yesus dengan mengatakan kebenaran kepada semua golongan, sambil mengundang masuk orang-orang dari semua golongan. (t/Odysius)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
Alamat situs : https://thegospelcoalition.org/article/viral-post-danger
Judul asli artikel : That Viral Post Is a Danger to Your Soul
Penulis artikel : Patrick Miller