Apps4God

Submitted by admin on Fri, 10/16/2015 - 12:00

Pendahuluan

Dari tahun ke tahun, orang berduyun-duyun ke kota besar untuk mengadu nasib dan mendapatkan pekerjaan. Pesona kota seperti Jakarta begitu menjanjikan. Begitu banyak gedung megah dan tempat rekreasi, sarana transportasi yang beragam menjadi simbol dari kemajuan. Pada sisi lain, hubungan antar manusia di kota-kota besar makin renggang. Manusia cenderung makin bergaya hidup materialistis dan individualistis. Mengapa? Konon telah terjadi perubahan yang besar di berbagai tempat di belahan dunia, bahkan secara menyeluruh terjadi perubahan dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, dari masyarakat modern ke masyarakat pascamodern.

Secara global, perubahan yang cepat di dalam masyarakat pascamodern, akan memengaruhi seluruh kehidupan manusia termasuk komunitas Kristen. Antisipasi para ahli terhadap perubahan dalam masyarakat pascamodern begitu gencar dibahas. Ironisnya dalam komunitas kepemimpinan Kristen, hal tersebut kurang mendapat perhatian yang proporsional. Tulisan ini mencoba menganalisis masyarakat pascamodern dengan permasalahannya, dan mengetengahkan sebuah strategi pengembangan kepemimpinan Kristen, sebagai tindakan antisipasi dan langkah strategis menyongsong masyarakat pascamodern di Indonesia.

Upaya Memahami Pascamodernisme

A. Pengertian Istilah

Istilah pascamodern telah digunakan dalam banyak bidang kehidupan dengan gencar. Istilah ini banyak dibicarakan orang, namun dengan persepsi yang berbeda-beda. Istilah ini pun digunakan orang di berbagai bidang dengan mencengangkan, namun maknanya menjadi kabur. Istilah pascamodern digunakan dalam bidang musik, seni rupa, fiksi, drama, fotografi, arsitektur, kritik sastra, antropologi, sosiologi, geografi, dan filsafat.

Istilah pascamodern muncul pertama kali di wilayah seni. Menurut Hassan dan Jencks, istilah ini pertama-tama dipakai oleh Federico de Onis pada tahun 1930-an dalam karyanya, "Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana", untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme. Kemudian di bidang historiografi oleh Toynbee dalam "A Study of History" (1947). Di sini istilah itu merupakan kategori yang menjelaskan siklus sejarah baru, yang dimulai sejak tahun 1875 dengan berakhirnya dominasi Barat, menyurutkan individualisme, kapitalisme, dan kekristenan, serta kebangkitan kekuatan budaya non-Barat. Disinggung pula tentang pluralisme dan kebudayaan dunia, hal-hal yang masih esensial dalam pengertian tentang pascamodern masa kini.

Dalam bidang sosial-ekonomi, istilah pascamodern diartikan sebagai kian berkembangnya kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersama dengan makin terbebasnya daya instingtif, dan kian meningkatkan kesenangan dan keinginan, akhirnya membawa logika modernisme ke kutub kejauhan. Itu terjadi terutama melalui intensifikasi ketegangan-ketegangan struktural masyarakat. Di bidang kebudayaan, pascamodern diartikan sebagai logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya. Pascamodern dimulai dalam tahapan dengan kapitalisme pasca Perang Dunia II. Pascamodern muncul berdasarkan dominasi teknologi reproduksi dalam jaringan global kapitalisme multinasional kini.

Istilah pascamodern di bidang filsafat, menunjuk pada segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya. Di bidang kemasyarakatan (sosiologi), pascamodern diartikan sebagai pola pikir manusia yang bergeser dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.

B. Sebab-Sebab Timbulnya Pascamodern

Era pascamodern muncul dengan sendirinya, dan kemunculannya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Pandangan Dualistis Pandangan dualistis membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual dan material, manusia dan dunia. Hal ini telah mengakibatkan objektivitas alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena, yang akhirnya mengakibatkan krisis ekologi.
2. Pandangan Modern Pandangan modern yang objektif dan positif cenderung menjadikan manusia seolah objek, dan masyarakat direkayasa bagaikan mesin.
3. Krisis Moral dan Religi Dalam modernisme, ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini adalah nilai-nilai moral dan religius kehilangan kewibawaannya. Alhasil, timbullah disorientasi moral-religius, yang pada gilirannya mengakibatkan meningkatnya kekerasan, terasing, depresi, dan mental.
4. Materialisme Bila kenyataan mendasar tidak lagi ditemukan dalam religi, maka materilah yang dianggap sebagai kenyataan mendasar. Materialisme ontologis ini didampingi dengan materialisme praktis, yaitu hidup pun menjadi keinginan yang tak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Aturan main utamanya tak lain adalah "survival of the fittest" (kelangsungan hidup melalui proses adaptasi, Red.), atau dalam skala lebih besar, persaingan pasar bebas. Etika persaingan dalam mengontrol sumber-sumber material inilah yang merupakan pola perilaku dominan individu, bangsa, dan perusahaan-perusahaan modern.
5. Militerisme Oleh sebab norma-norma religius dan moral tak lagi berdaya bagi perilaku manusia, maka norma umum objektif cenderung menghilang. Akibatnya, kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Ungkapan paling gamblang adalah militerisme dengan persenjataan nuklirnya. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa religi dapat menjadi alat legitimasi militerisme.
6. Bangkitnya Tribalisme Muncul kecenderungan dalam masyarakat mentalitas yang mengunggulkan suku dan kelompok sendiri (tribalisme). Ironisnya, setelah perang dingin berlalu, agama menjadi kategori identitas penting yang cenderung mendukung kelompok-kelompok yang saling bertengkar, yang pada gilirannya justru mendukung tribalisme itu sendiri.

C. Berbagai Aliran Gerakan Pascamodernisme

Munculnya pascamodernisme dilandasi oleh beragam aliran pemikiran. Keragaman gerakan ini barangkali bisa dimasukkan ke dalam tiga kategori. Namun, kategori ini tidak bisa dilihat secara ketat, sebab ia dimaksudkan hanya sebagai alat bantu untuk melihat aneka gerakan itu secara lebih jernih dan global.

Kategori pertama, pemikiran-pemikiran dalam rangka merevisi kemodernan, cenderung kembali ke pola berpikir pramodern. Sebutlah misalnya ajaran yang biasa menyebut dirinya New Age Movement (Gerakan Zaman Baru, Red.). Mungkin bisa pula dimasukkan di sini pemikiran-pemikiran yang mengaitkan diri dengan wilayah mistik.

Kedua, pemikiran-pemikiran yang terkait erat pada dunia sastra dan banyak berurusan dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang populer untuk kelompok ini adalah dekonstruksi. Mereka cenderung mengatasi pandangan dunia (worldview) modern melalui gagasan yang anti pandangan dunia sama sekali. Mereka mendekonstruksi atau membongkar segala unsur yang penting dalam sebuah pandangan dunia, seperti diri, Tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, dan sebagainya. Awalnya, strategi dekonstruksi ini dimaksudkan untuk mencegah kecenderungan totalitarianisme (kekuasaan mutlak, Red.) pada segala sistem. Namun, akhirnya cenderung jatuh ke dalam relativisme dan nihilisme.

Ketiga, pemikiran yang hendak merevisi modernisme tidak menolak modernisme itu sendiri secara total, melainkan dengan memperbarui premis-premis modern di sana-sini. Mereka tidak menolak sains pada dirinya sendiri, melainkan hanya sains sebagai ideologi atau "scientism" saja, di mana kebenaran ilmiah yang dianggap kebenaran yang paling sahih. Mereka tetap mengakui sumbangan besar modernisme bagi hidup manusia umumnya, seperti terangkatnya rasionalitas, kebebasan, pentingnya pengalaman, dan sebagainya. Mereka merumuskan secara baru rasionalitas, emansipasi, objektivitas juga kebenaran. Istilah "dialog" dan "konsensus" menjadi kata kunci, seperti halnya juga intersubjektivitas (kondisi antara subjektivitas dan objektivitas, Red.), komunikasi, dan sebagainya.

D. Karakteristik Masyarakat Pascamodern

Dewasa ini telah terjadi pergeseran yang cepat dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi, yang menuntun kepada pergeseran dalam pola berpikir manusia. Beberapa ciri corak hidup dan pola pikir masyarakat pascamodern antara lain:
1. Manusia dipandang sebagai makhluk terpecah. Tidak ada kebenaran padanya; yang ada hanya kebenaran individu yang merupakan pilihan individualis untuk diikutinya.
2. Pascamodern menempatkan akal manusia mengambang dan tidak lagi berkuasa. Banyak kebenaran dapat diikuti dan dipercayai, sekalipun saling bertentangan.
3. Dalam pandangan pascamodern tentang teknologi, manusia menciptakan masalah untuk menangani sendiri. Tidak ada alasan untuk merasa bahwa masa depan akan lebih cerah dari sekarang.
4. Pascamodern melihat agama-agama memiliki kebenaran sendiri yang harus diterima sama seperti yang lain. Agama dan kebudayaan yang beragam harus dihargai karena memiliki keunikan masing-masing.
5. Kehidupan masyarakat perkotaan akan semakin sekuler, individualistis, dan materialistis, tetapi mereka cenderung mencari kelompok-kelompok "primordial".

*Bagian selanjutnya dari artikel ini bisa Anda lihat di
http://lead.sabda.org/strategi_pengembangan_kepemimpinan_kristen_pada_era_pascamodern_ii.

Diambil dari:
Arsip publikasi: e-Leadership, edisi 96
Alamat URL: http://lead.sabda.org/strategi_pengembangan_kepemimpinan_kristen_pada_era_pascamodern_i