Apps4God

Submitted by admin on Fri, 01/06/2017 - 12:00

Belum selesai dengan pembahasan Generasi Y atau millineal, kini hadir lagi Generasi Z (iGen) dan Generasi A. Kabarnya, keduanya adalah digital native alias penduduk asli digital. Mereka lebih akrab dan mahir menggunakan teknologi, sehingga dapat multitasking. Sayangnya, mereka mudah menyerah ketika dalam kesulitan.

Imelda Liana Sari (36) berencana membelikan ponsel kepada putrinya, Almeyda Nayara Azier (9) nanti jika sudah berusia 11 tahun atau kelas enam SD. Sayangnya, rencana itu gagal. Ia terpaksa membelikan ponsel lebih cepat ketika Naya, kelas empat SD. Alasannya, hampir semua teman sekolahnya sudah berponsel.

"Semua temanku di sekolah punya handphone, masa aku enggak punya. Aku ingin punya agar mudah berkomunikasi karena kami punya grup WhatsApp," kata Imelda menirukan ucapan putrinya itu.

Sejak itulah keseharian Naya tak lepas dari gawai. Meski sebenarnya ia sudah akrab dengan gawai sejak usia tujuh tahun. Bahkan, ia juga sudah mengenal media sosial dan memiliki akun Instagram. Di akun itulah ia berjualan slime, mainan anak-anak sejenis gel buatannya sendiri. "Saya izinkan karena tujuannya baik," kata Imelda.

Naya pun semakin lihai berselancar di Instagram. Mulai dari mem-posting gambar, membuat dan mengunduh video, menulis caption, hingga membalas komentar. Selain untuk berjualan, Naya juga kerap menggunakan media sosial untuk bermain, seperti menonton tutorial memasak, mendengarkan lagu anak-anak, menonton film, dsb.

Multitasking tapi tidak sabaran

Gambaran Naya bisa dibilang mewakili sebagian besar sosok Generasi Z. Dalam laman nytimes.com September 2015, dikatakan, Generasi Z adalah mereka yang lahir setelah Generasi Y atau Milenial, tepatnya antara 1995 dan 2011.

Seperti kasus Naya, Generasi Z sudah mengenal dengan dunia digital sejak anak-anak. Berbeda dengan Gen Y (kelahiran 1980 - 1994) yang baru mengenal setelah remaja. Karena itulah, Gen Z sering dikenal sebagai penduduk asli dunia digital alias digital native. Bahkan Gen A yang lahir setelahnya, yakni 2012 sudah mengenal dengan perangkat digital ketika bayi.

Karena kondisi tadi, kehidupan Gen Z dan Gen A sangat akrab dengan teknologi. Mereka bisa begitu mudah mengakses dan mencari informasi melalui internet. Selain itu, khususnya Gen Z, lebih menyukai dan sering berkomunikasi maupun berinteraksi melalui jejaring media sosial.

Keakraban dengan teknologi itu pula, membuat Gen Z dan A terbiasa melakukan aktivitas secara bersamaan dalam satu waktu alias multitasking. Misalnya, bekerja sambil menonton, mendengarkan musik, menelepon, atau bermain media sosial. Hal ini tak lain karena mereka menginginkan segala sesuatu serba instan dan praktis.

Sayangnya, hal itu membuat keduanya cenderung tidak sabaran, kurang menghargai proses, dan mudah putus asa ketika menghadapi kesulitan atau tantangan.

Lebih privasi namun kreatif

Meski "gaul" dengan dunia digital, nyatanya Gen Z sangat menjaga sesuatu yang mereka unggah di dunia maya. Terutama mengenai hal-hal yang dapat menghambat kesuksesan mereka di masa depan. Berbeda dengan Gen Y yang terlalu terbuka terhadap apa yang mereka posting.

Berdasarkan penelitian Center of Generational Kinetics, sebuah perusahaan riset di Austin, AS, kelompok muda ini lebih menikmati kehidupan yang bersifat pribadi. Jejaring media sosialnya adalah Snapchat yang lebih bersifat pribadi dibandingkan dengan Facebook dan Twitter.

Hal ini juga diamini Dan Gould, konsultan tren di Sparks & Honey, sebuah biro iklan di New York. "Snapchat disukai karena lebih bersifat privasi, dengan setiap gambar maupun video yang mereka posting akan menghilang dalam rentang 24 jam," kata Gould. "Mereka sadar bahwa privasi itu penting untuk membangun personal branding. Mereka melihat bahwa Gen Y telah mengacaukan hal itu dengan posting terlalu terbuka."

Gen Z dan A juga diketahui lebih kreatif. Mereka memanfaatkan teknologi untuk mengetahui bakat yang mereka miliki. Sebuah penelitian oleh Deep Focus, sebuah agensi digital pada 2015, menemukan, lebih dari 50% Gen Z menghabiskan waktu luang mereka untuk membangun keterampilan baru, seperti belajar desain grafis, produksi video, dan mengembangkan aplikasi.

Selain itu, menurut Sparks & Honey, Gen Z lebih peduli terhadap isu-isu sosial, seperti dampak ekonomi dan lingkungan. Sebanyak, 80% Gen Z sadar akan dampak keberadaan manusia terhadap planet ini. Tak heran, 26% dari Generasi Z yang berusia 16-19 tahun terjun menjadi relawan.

Libatkan anak dalam aktivitas orangtua

Menghadapi Gen Y dan A ini, Monica Sulistiawati, psikolog anak di Personal Growth, memberi saran kepada orang tua agar tetap mengawasi dan membatasi segala kegiatan mereka di dunia digital. Orangtua mesti bersifat terbuka terhadap kecanggihan teknologi sehingga perbedaan perspektif soal teknologi saat ini tidak menimbulkan konflik.

Dengan mengikuti perkembangan teknologi digital, termasuk aktif dalam dunia media sosial, orangtua bisa mengawasi kegiatan anak. Juga dapat menjalin keakraban dengan anak. "Misalnya, membuat grup WhatsApp keluarga untuk dapat berkomunikasi dan menyampaikan pendapat, sehinga dapat saling jujur dan terbuka," kata ibu dari dua anak itu.

Selain itu, meski di tengah kecanggihan teknologi, Monica mengatakan, orangtua juga perlu mendorong anak untuk bergaul didunia nyata, bukan hanya di dunia maya. Dorong anak untuk melakukan aktivitas luar ruang dan olahraga untuk mendukung kesehatan, baik fisik maupun mental, dan memperluas wawasan mereka.

"Libatkan anak dalam aktivitas orangtua, seperti membereskan rumah, belanja keperluan sehari-hari, memasak, dan sebagainya. Dengan demikian, anak dapat memahami dan menghargai orangtuanya," kata Monica.

Tak lupa, orangtua juga diharapkan meluangkan waktu untuk tetap berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak secara nyata, sehingga baik orangtua dan anak sama-sama memahami sudut pandang masing-masing. Dengarkan dan hargai pendapat anak, serta bersikap terbuka pada hal baru yang didapat dari anak-anak.

Nah, setelah mempertimbangkan masak-masak, Imelda akhirnya mengabulkan permintaan Naya untuk memiliki ponsel sendiri. Malah setelah berponsel, ternyata Naya berhasil menjadi pengusaha cilik.

Kini Naya telah memiliki delapan pekerja. Salah satunya untuk mengelola akun Instagram bisnisnya, @nayaslime18. "Saya jadi tahu Naya punya bakat Wirausaha. Namun, saya tetap membatasinya bermain gawai. Ia harus tetap belajar dan sekolah," ujar perempuan yang tinggal di kawasan Tangerang itu.

Begitu kira-kira hebatnya Generasi Z.

Diambil dari:
Nama majalah: Intisari
Judul artikel: Gen Z Si Warga Asli "Kampung Digital"
Penulis artikel: Esra Dopita M Sidauruk
Bulan terbit: Januari 2017